TATA RUANG TRADISIONAL NAGARI SALAYO

Witrianto

Salah satu syarat pemukiman modern adalah adanya tata ruang yang menjadi salah satu landasan pembangunan di suatu kawasan tertentu. Dengan adanya tata ruang, pemerintah daerah menjadi lebih mudah mengambil kebijakan-kebijakan dalam merencanakan pembangunan di daerahnya. Dari tata ruang yang disusun tersebut dapat diketahui daerah mana yang akan diperuntukkan untuk menjadi tempat pemukiman, perkantoran, industri, perdagangan, pendidikan, lahan pertanian, dan sebagainya.
Sejalan dengan konsep pemukiman modern tersebut, orang Minangkabau secara tradisional ternyata juga mempunyai tata ruang dalam membangun nagari. Dalam tata ruang yang disusun oleh para pendiri nagari tersebut ditetapkanlah lokasi yang diperuntukkan sebagai tempat pemukiman yang biasanya juga sekaligus sebagai pusat nagari. Daerah sekitar pusat nagari yang dapat dijangkau oleh air dijadikan sebagai daerah persawahan ayau “hutan rendah” dan daerah yang tidak bisa dijangkau oleh air dijadikan sebagai daerah perladangan atau “hutan tinggi”.
Lokasi yang ditetapkan sebagai tempat pemukiman kemudian dibagi-bagi sesuai dengan jumlah suku dan kaum yang ada dalam nagari tersebut. Hal ini dimaksudkan supaya semua warga suku yang ada di nagari tersebut memiliki tanah ulayat masing-masing. Luas tanah ulayat yang dimiliki oleh masing-masing suku disesuaikan dengan jumlah warga suku dan kekuasaan yang dimiliki oleh suku tersebut. Suku yang memiliki kekuasaan yang lebih besar secara tradisional biasanya didasarkan pada masa kedatangan suku tersebut ke dalam nagari tersebut. Suku yang datang lebih dahulu akan memiliki kekuasaan yang lebih besar dari suku yang datang lebih belakangan.
Salah satu contoh tata ruang tradisional masyarakat Minangkabau yang bisa dikatakan sebagai contoh ideal adalah tata ruang tradisional Nagari Salayo yang terletak di Kubuang Tigo Baleh Kabupaten Solok. Pola pemukiman masyarakat Salayo adalah pola melingkar dan mengelompok. Pola ini ditandai dengan adanya pusat pemukiman yang merupakan pusat nagari yang dikelilingi oleh “hutan rendah” dan “hutan tinggi”. Hutan rendah adalah daerah pertanian yang dapat dijangkau oleh air, daerah ini kemudian dijadikan sebagai sawah dengan tanaman utamanya padi. Hutan tinggi adalah daerah pertanian yang tidak terjangkau oleh air, sehingga kemudian dijadikan sebagai ladang atau dalam istilah setempat disebut “parak”. 
Pusat Nagari Salayo terletak di bekas Jorong Salayo Ateh dan Salayo Baruh yang sekarang menjadi Jorong Galanggang Tangah setelah bergabung dengan Jorong Subarang pada waktu dilakukan Penataan Desa di Sumatera Barat pada tahun 1990. Sebelum Nagari Salayo menjadi sebuah pemukiman, Penghulu Nan Batujuah beserta Tuanku Nan Batigo telah membuat rancangan tata ruang bagi pemukiman warganya. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa penduduk Nagari Salayo terdiri dari kelompok-kelompok sapruik, sakaum, dan sasuku.
Tata ruang Nagari Salayo yang disusun oleh Ninik Nan Sapuluah tersebut merupakan tata ruang yang sangat baik dan tidak kalah dengan tata ruang yang dikembangkan oleh ahli tata ruang modern dewasa ini. Hal ini menunjukkan ketinggian budaya nenek moyang orang Minangkabau. 
Pusat Nagari Salayo memanjang sekitar 1,5 km dari selatan ke utara dan berbatasan dengan Nagari Kotobaru di selatan dan Nagari Solok di utara. Di sebelah barat pusat nagari dipisahkan oleh hamparan sawah yang luas dengan Jorong Munggu Tanah dan Jorong Sawah Sudut. Di sebelah timur pusat nagari dipisahkan oleh Sungai Batang Lembang dengan Jorong Subarang. Wilayah pusat nagari ini terbagi atas tiga bagian yaitu Kapalo Koto yang terletak bersebelahan dengan Nagari Kotobaru di selatan, Tangah Koto, dan Ikua Koto yang terletak bersebelahan dengan Nagari Solok di utara. Tangah Koto merupakan pusat pemukiman yang terpadat, di sinilah pusat aktivitas kehidupan bernagari dilaksanakan yang ditandai dengan adanya sejumlah bangunan penting yang merupakan lambang keberadaan sebuah nagari, seperti pasar nagari, kantor wali nagari, balai adat, kantor Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN), masjid raya, dan sekarang juga dilengkapi dengan sebuah puskesmas bertingkat yang berdiri megah persis di pusat nagari.
Tata ruang yang diciptakan oleh Ninik Nan Sapuluah Nagari Salayo tersebut dimulai dengan membuat sebuah jalan utama yang membelah pusat nagari menjadi dua bagian, yaitu Jorong Salayo Ateh yang terletak di sebelah barat dan Jorong Salayo Baruah yang terletak di sebelah timur. Jalan ini pada masa pemerintahan Belanda dijadikan sebagai jalan raya yang menghubungkan Kota Solok dengan Kota Padang. Selanjutnya di kedua jorong tersebut dibangun jalan yang tegak lurus dan sejajar dengan jalan besar tersebut yang bertujuan untuk mengelompokkan penduduk berdasarkan sukunya. Dengan adanya jalan-jalan tersebut, batas kepemilikan tanah tiap suku menjadi jelas sehingga tidak terdengar adanya perselisihan warga antar-suku mengenai batas tanah di nagari Salayo.
Jalan yang tegak lurus dengan jalan utama yang membagi dua pusat nagari di Salayo Ateh mulai dari selatan ke utara berturut-turut adalah Jalan Rumah Potong, Jalan Andaleh, Jalan Ampek Ninik, Jalan Nurul Falah, Jalan Kampai, Jalan Masjid Raya, dan Jalan Munggu Tanah. Yang sejajar dengan jalan utama adalah Jalan Kelok Sembilan, Jalan Piliang, Jalan Mesjid Raya dari arah Andaleh, dan Jalan Lubuk Batang.
Di Jorong Salayo Baruah, jalan yang tegak lurus dengan jalan utama mulai dari selatan ke utara berturut-turut adalah Jalan Badenah, Jalan Tapi Aia, Jalan Labong, Jalan Caniago, Jalan Kalampaian, Jalan Tampuniak, dan Jalan Saribulan. Yang sejajar dengan jalan utama adalah Jalan Bintang Jaya, Jalan Simpang Ampek, dan Jalan Tapi Batang Aia (Sungai) Batang Lembang. 
Jalan-jalan yang ada di Nagari Salayo tersebut tidak ada yang buntu, semuanya bersambung atau mempunyai simpang dengan jalan yang lainnya. Di Salayo Baruah, jalan yang tegak lurus dengan jalan utama semuanya menuju ke Sungai Batang Lembang, sedangkan di Salayo Ateh jalan yang tegak lurus dengan jalan utama semuanya menuju ke pincuran tempat mandi yang terdapat di surau-surau atau masjid yang ada di Salayo. Jalan yang diciptakan oleh nenek moyang orang Salayo yang semuanya ternyata mengarah ke sumber air menunjukkan bahwa orang Salayo tidak bisa lepas dari air yang digunakan untuk mandi, mencuci, memasak, berwudhu untuk shalat, dan untuk pengairan sawah dan kolam ikan.
Jorong-jorong lainnya di Salayo, yang semula terdiri dari 13 jorong, kecuali Jorong Subarang yang terletak di sebelah timur, 10 jorong lainnya terletak di sebelah barat pusat nagari. Jorong-jorong tersebut adalah Munggu Tanah, Parak Gadang, Sawah Kandang, Sawah Sudut, Padang Kunik, Sumur Belimbing, Kubur Harimau, Lurah Ateh, Lurah Baruh, dan Pakan Sinayan. 
Jorong-jorong tersebut semula merupakan daerah pertanian warga Salayo yang kemudian berkembang menjadi pemukiman setelah kedatangan penduduk pendatang dari berbagai nagari di sekitar Danau Singkarak, seperti Sulit Air, Kacang, Simawang, Pasilihan, Paninggahan, dan Saniangbaka. Pendatang lainnya juga banyak yang berasal dari Mudiak, sebuatan orang Salayo untuk nagari-nagari yang terletak di selatan Salayo, yaitu Bukit Sileh, Talang Babungo, Garobak Data, dan Sirukam. 
Di samping para pendatang, penduduk asli Selayo banyak juga yang kemudian bermukim di jorong-jorong luar pusat nagari. Mereka adalah para petani yang menggarap lahan pertanian di daerah tersebut. Untuk menghemat waktu dan tenaga mereka kemudian membuat pondok di lahan pertanian mereka yang mereka tinggali ketika pekerjaan di sawah atau ladang sedang banyak. Lama-kelamaan pondok tersebut kemudian mereka jadikan sebagai rumah tempat tinggal permanen.
Sampai sekarang, penduduk asli yang tinggal di luar pusat nagari jika mengunjungi kerabatnya yang tinggal di pusat nagari, mereka menyebutnya “pai pulang” (pergi pulang), karena asal mereka memang dari pusat nagari. Berbeda halnya dengan penduduk pendatang, jika pergi ke pusat nagari mereka menyebutnya “pai ka Salayo” (pergi ke Selayo), walaupun tempt tinggal mereka pun sebenarnya masih merupakan bagian dari Nagari Salayo. 

SUMBER : Witrianto
Penulis adalah staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang