TATA RUANG TRADISIONAL NAGARI SALAYO

Witrianto

Salah satu syarat pemukiman modern adalah adanya tata ruang yang menjadi salah satu landasan pembangunan di suatu kawasan tertentu. Dengan adanya tata ruang, pemerintah daerah menjadi lebih mudah mengambil kebijakan-kebijakan dalam merencanakan pembangunan di daerahnya. Dari tata ruang yang disusun tersebut dapat diketahui daerah mana yang akan diperuntukkan untuk menjadi tempat pemukiman, perkantoran, industri, perdagangan, pendidikan, lahan pertanian, dan sebagainya.
Sejalan dengan konsep pemukiman modern tersebut, orang Minangkabau secara tradisional ternyata juga mempunyai tata ruang dalam membangun nagari. Dalam tata ruang yang disusun oleh para pendiri nagari tersebut ditetapkanlah lokasi yang diperuntukkan sebagai tempat pemukiman yang biasanya juga sekaligus sebagai pusat nagari. Daerah sekitar pusat nagari yang dapat dijangkau oleh air dijadikan sebagai daerah persawahan ayau “hutan rendah” dan daerah yang tidak bisa dijangkau oleh air dijadikan sebagai daerah perladangan atau “hutan tinggi”.
Lokasi yang ditetapkan sebagai tempat pemukiman kemudian dibagi-bagi sesuai dengan jumlah suku dan kaum yang ada dalam nagari tersebut. Hal ini dimaksudkan supaya semua warga suku yang ada di nagari tersebut memiliki tanah ulayat masing-masing. Luas tanah ulayat yang dimiliki oleh masing-masing suku disesuaikan dengan jumlah warga suku dan kekuasaan yang dimiliki oleh suku tersebut. Suku yang memiliki kekuasaan yang lebih besar secara tradisional biasanya didasarkan pada masa kedatangan suku tersebut ke dalam nagari tersebut. Suku yang datang lebih dahulu akan memiliki kekuasaan yang lebih besar dari suku yang datang lebih belakangan.
Salah satu contoh tata ruang tradisional masyarakat Minangkabau yang bisa dikatakan sebagai contoh ideal adalah tata ruang tradisional Nagari Salayo yang terletak di Kubuang Tigo Baleh Kabupaten Solok. Pola pemukiman masyarakat Salayo adalah pola melingkar dan mengelompok. Pola ini ditandai dengan adanya pusat pemukiman yang merupakan pusat nagari yang dikelilingi oleh “hutan rendah” dan “hutan tinggi”. Hutan rendah adalah daerah pertanian yang dapat dijangkau oleh air, daerah ini kemudian dijadikan sebagai sawah dengan tanaman utamanya padi. Hutan tinggi adalah daerah pertanian yang tidak terjangkau oleh air, sehingga kemudian dijadikan sebagai ladang atau dalam istilah setempat disebut “parak”. 
Pusat Nagari Salayo terletak di bekas Jorong Salayo Ateh dan Salayo Baruh yang sekarang menjadi Jorong Galanggang Tangah setelah bergabung dengan Jorong Subarang pada waktu dilakukan Penataan Desa di Sumatera Barat pada tahun 1990. Sebelum Nagari Salayo menjadi sebuah pemukiman, Penghulu Nan Batujuah beserta Tuanku Nan Batigo telah membuat rancangan tata ruang bagi pemukiman warganya. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa penduduk Nagari Salayo terdiri dari kelompok-kelompok sapruik, sakaum, dan sasuku.
Tata ruang Nagari Salayo yang disusun oleh Ninik Nan Sapuluah tersebut merupakan tata ruang yang sangat baik dan tidak kalah dengan tata ruang yang dikembangkan oleh ahli tata ruang modern dewasa ini. Hal ini menunjukkan ketinggian budaya nenek moyang orang Minangkabau. 
Pusat Nagari Salayo memanjang sekitar 1,5 km dari selatan ke utara dan berbatasan dengan Nagari Kotobaru di selatan dan Nagari Solok di utara. Di sebelah barat pusat nagari dipisahkan oleh hamparan sawah yang luas dengan Jorong Munggu Tanah dan Jorong Sawah Sudut. Di sebelah timur pusat nagari dipisahkan oleh Sungai Batang Lembang dengan Jorong Subarang. Wilayah pusat nagari ini terbagi atas tiga bagian yaitu Kapalo Koto yang terletak bersebelahan dengan Nagari Kotobaru di selatan, Tangah Koto, dan Ikua Koto yang terletak bersebelahan dengan Nagari Solok di utara. Tangah Koto merupakan pusat pemukiman yang terpadat, di sinilah pusat aktivitas kehidupan bernagari dilaksanakan yang ditandai dengan adanya sejumlah bangunan penting yang merupakan lambang keberadaan sebuah nagari, seperti pasar nagari, kantor wali nagari, balai adat, kantor Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN), masjid raya, dan sekarang juga dilengkapi dengan sebuah puskesmas bertingkat yang berdiri megah persis di pusat nagari.
Tata ruang yang diciptakan oleh Ninik Nan Sapuluah Nagari Salayo tersebut dimulai dengan membuat sebuah jalan utama yang membelah pusat nagari menjadi dua bagian, yaitu Jorong Salayo Ateh yang terletak di sebelah barat dan Jorong Salayo Baruah yang terletak di sebelah timur. Jalan ini pada masa pemerintahan Belanda dijadikan sebagai jalan raya yang menghubungkan Kota Solok dengan Kota Padang. Selanjutnya di kedua jorong tersebut dibangun jalan yang tegak lurus dan sejajar dengan jalan besar tersebut yang bertujuan untuk mengelompokkan penduduk berdasarkan sukunya. Dengan adanya jalan-jalan tersebut, batas kepemilikan tanah tiap suku menjadi jelas sehingga tidak terdengar adanya perselisihan warga antar-suku mengenai batas tanah di nagari Salayo.
Jalan yang tegak lurus dengan jalan utama yang membagi dua pusat nagari di Salayo Ateh mulai dari selatan ke utara berturut-turut adalah Jalan Rumah Potong, Jalan Andaleh, Jalan Ampek Ninik, Jalan Nurul Falah, Jalan Kampai, Jalan Masjid Raya, dan Jalan Munggu Tanah. Yang sejajar dengan jalan utama adalah Jalan Kelok Sembilan, Jalan Piliang, Jalan Mesjid Raya dari arah Andaleh, dan Jalan Lubuk Batang.
Di Jorong Salayo Baruah, jalan yang tegak lurus dengan jalan utama mulai dari selatan ke utara berturut-turut adalah Jalan Badenah, Jalan Tapi Aia, Jalan Labong, Jalan Caniago, Jalan Kalampaian, Jalan Tampuniak, dan Jalan Saribulan. Yang sejajar dengan jalan utama adalah Jalan Bintang Jaya, Jalan Simpang Ampek, dan Jalan Tapi Batang Aia (Sungai) Batang Lembang. 
Jalan-jalan yang ada di Nagari Salayo tersebut tidak ada yang buntu, semuanya bersambung atau mempunyai simpang dengan jalan yang lainnya. Di Salayo Baruah, jalan yang tegak lurus dengan jalan utama semuanya menuju ke Sungai Batang Lembang, sedangkan di Salayo Ateh jalan yang tegak lurus dengan jalan utama semuanya menuju ke pincuran tempat mandi yang terdapat di surau-surau atau masjid yang ada di Salayo. Jalan yang diciptakan oleh nenek moyang orang Salayo yang semuanya ternyata mengarah ke sumber air menunjukkan bahwa orang Salayo tidak bisa lepas dari air yang digunakan untuk mandi, mencuci, memasak, berwudhu untuk shalat, dan untuk pengairan sawah dan kolam ikan.
Jorong-jorong lainnya di Salayo, yang semula terdiri dari 13 jorong, kecuali Jorong Subarang yang terletak di sebelah timur, 10 jorong lainnya terletak di sebelah barat pusat nagari. Jorong-jorong tersebut adalah Munggu Tanah, Parak Gadang, Sawah Kandang, Sawah Sudut, Padang Kunik, Sumur Belimbing, Kubur Harimau, Lurah Ateh, Lurah Baruh, dan Pakan Sinayan. 
Jorong-jorong tersebut semula merupakan daerah pertanian warga Salayo yang kemudian berkembang menjadi pemukiman setelah kedatangan penduduk pendatang dari berbagai nagari di sekitar Danau Singkarak, seperti Sulit Air, Kacang, Simawang, Pasilihan, Paninggahan, dan Saniangbaka. Pendatang lainnya juga banyak yang berasal dari Mudiak, sebuatan orang Salayo untuk nagari-nagari yang terletak di selatan Salayo, yaitu Bukit Sileh, Talang Babungo, Garobak Data, dan Sirukam. 
Di samping para pendatang, penduduk asli Selayo banyak juga yang kemudian bermukim di jorong-jorong luar pusat nagari. Mereka adalah para petani yang menggarap lahan pertanian di daerah tersebut. Untuk menghemat waktu dan tenaga mereka kemudian membuat pondok di lahan pertanian mereka yang mereka tinggali ketika pekerjaan di sawah atau ladang sedang banyak. Lama-kelamaan pondok tersebut kemudian mereka jadikan sebagai rumah tempat tinggal permanen.
Sampai sekarang, penduduk asli yang tinggal di luar pusat nagari jika mengunjungi kerabatnya yang tinggal di pusat nagari, mereka menyebutnya “pai pulang” (pergi pulang), karena asal mereka memang dari pusat nagari. Berbeda halnya dengan penduduk pendatang, jika pergi ke pusat nagari mereka menyebutnya “pai ka Salayo” (pergi ke Selayo), walaupun tempt tinggal mereka pun sebenarnya masih merupakan bagian dari Nagari Salayo. 

SUMBER : Witrianto
Penulis adalah staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang

KUBUANG TIGO BALEH

Daerah Solok dalam Tambo Minangkabau dikenal dengan nama Kubuang Tigo Baleh yang merupakan bagian dari Luhak Tanah Datar. Daerah ini tidak berstatus “Rantau” (daerah yang membayar upeti), malah mempunyai Rantau dan Pesisirnya sendiri.
Daerah Rantaunya adalah Alam Surambi Sungai Pagu (Solok Selatan) dan pesisirnya adalah daerah Padang Luar Kota dan sebagian daerah Pesisir Selatan.
Dalam pepatah adat disebut, Aso Solok duo Salayo, ba-Padang ba-Aia Haji, Pauah Limo Pauah Sambilan, Lubuak Bagaluang Nan Duo Puluah. 
Dari naskah Tjuraian Asal Mula Negeri Solok dan Salajo, diperoleh keterangan bahwa nama Kubuang Tigo Baleh berasal dari datangnya 73 orang dari daerah Kubuang Agam ke daerah yang sekarang disebut Kabupaten dan Kota Solok. 
Tiga belas orang di antaranya tinggal di Solok dan Selayo serta mendirikan Nagari – nagari  di sekitarnya, sedangkan 60 orang lainnya meneruskan perjalanan ke daerah Lembah Gumanti, Surian, dan Muara Labuh.
Ketiga belas orang ini menjadi asal nama Kubuang Tigo Baleh. Mereka pula yang mendirikan Nagari-nagari di sekeliling Nagari Solok dan Selayo. Kedua nagari ini disebut “Payung Sekaki” bagi nagari-nagari di sekitarnya.
Tiga belas Nagari yang menjadi inti daerah Kubuang Tigo Baleh, yang merupakan cikal bakal Kabupaten Solok, Nagari-nagari itu , adalah Solok, Selayo, Gantungciri, Panyakalan, Cupak, Muaropaneh, Talang, Saoklaweh, Guguak, Koto Anau, Bukiksileh, Dilam, dan Taruangtaruang. 
Beberapa nagari lainnya yang merupakan pemekaran dari ketiga belas nagari yang disebut di atas adalah Tanjuangbingkuang, Kotobaru, Kotohilalang, Gauang, Bukiktandang, Kinari, Parambahan, Sungaijaniah, Limaulunggo, Batubajanjang, Kotolaweh (Kec. Lembangjaya), Batubanyak, Kampuang Batu Dalam, Pianggu, Indudur, Sungai Durian, Sungai Jambua, Guguak Sarai, Siaro-aro, Kotolaweh (Kec. IX Koto Sungai Lasi), dan Bukit Bais.
Nagari Guguak yang sekarang merupakan bagian dari Kecamatan Gunung Talang memekarkan diri menjadi tiga nagari, yaitu Kotogadang, kotogaek, dan Jawi-jawi. 
Beberapa nagari lainnya kemudian juga bergabung ke dalam konfederasi Kubuang Tigo Baleh, yaitu, Batang Barus, Aia Batumbuak, Simpang Tanjuang Nan Ampek.
Nagari-nagari yang sekarang tergabung ke dalam Kecamatan Payung Sekaki ;  Danau Kembar, Lembah Gumanti, Pantai Cermin, Tigo Lurah, dan Hiliran Gumanti. 
Dua kecamatan lainnya, Sungai Pagu dan Sangir yang sekarang menjadi Kabupaten Solok Selatan juga mempunyai kaitan dengan Kubuang Tigo Baleh karena sebagian penduduk berasal dari daerah ini.
Meskipun jumlah nagari yang tergabung di dalamnya sudah lebih dari tiga belas nagari, tetapi namanya tetap Kubuang Tigo Baleh. 
Sementara itu nagari-nagari yang terletak di bagian utara Kabupaten Solok, yang tergabung dalam kecamatan X Koto Singkarak (beserta daerah pemekarannya Kecamatan Junjuang Siriah) dan Kecamatan X Koto Diateh tidak disebut dalam tambo ataupun data lainnya, sebagai bagian dari Kubuang Tigo Baleh.
Daerah Kubung Tigo Baleh memiliki balai adat yang dipergunakan bersama untuk berkonsultasi antara nagari – nagari di kawasan Kubuang Tigo Baleh. Balai adat ini terletak di Nagari Selayo dengan nama Balai Nan Panjang Kubuang Tigo Baleh.
Balai adat Selayo – merupakan pusat untuk mencari keadilan dalam hal sengketa adat. Dengan demikina menjadi milik Kubuang Tigo Baleh secara adat. Nagari Selayo sekaligus memiliki kehormatan sebagai tempat penyelesaian sengketa adat.  Apbila ada perkara adat yang tidak mampu diselesaikan oleh masing masing Nagari di Kubuang Tigo Baleh ini, maka akan diselesaikan di Kerapatan Adat Nagari Selayo.
Praktis, Selayo diasumsikan sebagai ‘bapak’-nya Kubung Tigo Baleh. Konsekuensinya,  Badai adat Selayo – sebagai lembaga – yang dianggap bertuah ini wajib “manyalasaikan nan kusuik, manjanihkan nan karuah” , ketika pada tingkatan Nagari-nagari diwilayah ini tidak mampu memutus suatu perkara.
Kisah Heroik Makam dt. Parpatih nan Sabatang 
Sisi lain yang cukup melegenda di Nagari Selayo adalah keberadaan makam Dt. Parpatiah nan Sabatang yang terletak di Munggu Tanah, Jorong Batu Palano, Nagari Selayo dan Kayu Gadang yang konon dulu berasal dari tongkatnya Dt.Parpatih nan Sabatang yang ditancapkan di Aie Manjulua, di Bawah Jao.  Begitu juga dengan kuburan samaran Dt. Parpatih nan Sabatang berada di kawasan yang sama.
Seperti yang dikisahkan melalui suatu wawancara penulis (2001) dengan Djanatin Dt. Putiah semasa hidupnya (kini sudah almarhum), juga ditulis (almarhum) Soewardi Idris dalam bukunya Selayo (1992) yang didasarkan dari naskah Djanatin Dt.Putiah, seorang tokoh adat Nagari Selayo dan juga menjadi Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok.
Naskah Djanatin Dt. Putiah, disarikan atas keterangan Alm. Muhammad Saat Dt. Rajo Timbua yang masa hidupnya adalah seorang tokokoh adat dan pejuang kemerdekaan dengan memperoleh penghargaan sebagai Perintis Kemerdekaan.
Konon ceritanya – sekembalinya Dt. Parpatih nan Sabatang dari Jawa membawa dua orang teman, masing-masing ahli pertanian bernama ” Tumangung “  dan seorang lagi Pangeran Rajo Bantan.
Dt. Parpatih nan Sabatang menetap di kediaman Dt. Gadang (Penghulu Suku Kampai). Kemudian dia mengangkat dua orang pengawal, masing-masing Dt. Baniang Bapawik dan Dt.Baramban Duri Rukam, keduanya dari Suku Chaniago.
Dari Tanah jawa, Dt. Parpatih membawa sebuah tongkat. Tongkat dibawa dari tanah Jawa. Banyak orang menyebutnya sebagai tongkat kayu Jao. Sebelum menuju negeri Alahan Panjang, Dt. Parpatih nan Sabatng berhenti sesaat di Aie Manjulua yang persis diarea perbatasan antara Nagari Selayo dengan Nagari Solok.
Kepada para ninik mamak, Datuk Perpatih nan Sabatang berucap :
”Hai seluruh ninik mamak Nagari Solok dan Nagari Selayo. Dimana tanah dipijak, dirikanlah Nagari beserta adatnya. Tanah lupak jadikan sawah, tanah keras jadikan ladang, gurun tandas jadikan padang halauan (gembalaan).”
Setelah memberikan pitua, maka Dt. Parpatih nan sabatang menancapkan tongkatnya di perbatasan kedua nagari tersebut dan konon kabarnya hingga sekarang masyarakat Nagari Selayo pada umumnya menyakini bahwa pohon besar yang berdiameter lebih kurang 2 meter dan bertinggi sekitar 70 meter tersebut berasal dari tongkat Dt. Parpatih nan Sabatang. Sampai sekarang kawasan itu bernama BawahJao.
Suatu ketika Dt. Parpatih nan Sabatng terbaring sakit dikediaman Dt. Gadang, maka begiliranlah para ninik mamak di Kubuang Tigo Baleh menjenguk dan menunggui. Pada akhirnya, mujur tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak, Tuhan maka berkehendak, akhirnya Dt. Parpatih nan Sabatang meningggal dunia.
Tersebarlah kabar kesentero wilayah Kubuang Tigo Baleh atas wafatnya Dt. Parpatih nan Sabatang hingga sampai ke daerah Silungkang.  Masyarakat Silungkang pun merasa memiliki sosok Dt. Parpatih nan Sabatang, berhasrat untuk membawa jenazah Dt. Parpatiah nan Sabatang ke negerinya. Masyarakat Selayo jelas berkeberatan jika jenazah dibawa oleh orang Silungkang ini.
Upaya yang dilakukan oleh Masyarakat Selayo ialah dengan mengarak jasad Dt.Parpatih nan Sabatang ke Munggu Tanah, arah barat pusat Nagari Selayo. 
Kemudian masyarakat Nagari Solok,  mengusulkan untuk membuat kuburan samaran yang diisi dengan sebatang pohon pisang di atas sebuah munggu di tengah sawah – yang letaknya tidak jauh dari tempat tumbuhnya kayu Jao. Jelas sekali kuburan yang dibuat ini – hanyalah sebagai upaya mengakali dan menghalangi keinginan orang Silungkang, yang berkeinginan untuk mengambil jenazah Datuk Perpatih Nan Sabatang dari Negeri Selalyo.

Sesampainya rombongan masyarakat  Silungkang di negeri Selayo, maka disambutlah kedatangan rombongan ini oleh orang Nagari Solok dan Nagari Selayo dengan hidangan makanan.  Setelah itu Masyarakat Silungkang ditawari -  untuk melihat kuburan Dt. Parpatih nan Sabatang.
Disinyalir dari ide rencana kedua Orang nagari ( SOLOK dan SELAYO),  ini lahirlah sebuah pituah yang berbunyi :
“Aka Solok, Budi Selayo.”
Maksudnya ialah ide dan rencana datangnya  dari orang Solok – namun yang menyambut dengan keramah tamahan serta menyediakan dan melayani makan adalah orang Selayo. Orang Selayo dianggap memiliki budi yang baik.
Konon ceritanya, pihak Orang Silungkang ternyata tetap bersikeras untuk membawa jenazah Dt.Parpatih nan Sabatang ini  ke negerinya. Mereka berupaya menggali kuburan samaran Datuk Pertpatih  Nan Sebatang ini. Betapa terperanjatnya orang Silungkang melihat kenyataan, ketika kain kafan dibuka ternyata didalamnya hanya sebatang pohon pisang. Mereka berkeyakinan bahwa Dt. Parpatih nan sabatang – yang dipujanya ini adalah seorang yang keramat.  Sehingga akhirnya mereka tidak berniat untuk membawanya ke Negeri Silungkang.
Konon dari peristiwa ini lahir ungkapan ”angguak anggak geleang amuah, tunjuak luruih kaliankiang bakaik”. Maksudnya,  orang Selayo menunjukkan arah kuburan samaran – tetapi mereka membelakangi daerah munggu tanah tempat kuburan asli Dt. Parpatih nan Sabatang.
Dari cerita masyarakat sekitar yang kemudian menjadi melegenda, konon dulunya, makam Dt. Parpatih nan Sabtang menunjukkan gejala aneh yang dirasakan oleh masyarakat setempat. Bila menjelang akan terjadinya musibah melanda Negeri sekitarnya, maka ada bunyi yang menggelegar atau manggaga, berasal dari makam tersebut.
Anehnya, bunyi gelegar itu terus berlanjut hingga terdengar di kuburan Parak Tingga, pekuburan Lubuk Kilangan dan poekuburan di Galanggang Tangah (semua dalam kenagaraian Selayo). Katanya, bunyi gelegar itu terdengar beberapa hari sebelum terjadinya bencana gempa maha dasyat tahun 1926. Banjir besar tahun 1927. Masuknya bala tentara Jepang pada tahun 1943 serta menjelang masuknya Sekutu ke Indonesia. Yang terakhir masyarakat setempat mendengar – saat saat menjelang meletusnya peristiwa G – 30 S/ PKI pada tahun 1965.
Dulunya -  makam Dt.Parpatih nan Sabatang dianggap keramat dan sering dijadikan tempat berkaul bagi masyarakat sekitarnya seperti saat turun ke sawah, menjelang panen, minta hujan, dan lainnya. Namun tradisi itu mulai hilang sejak berkembangnya ajaran Islam terutama disebarluaskan oleh Muhammadyah.
Makam itu kemduian direhab dengan model atap bagonjong pada tahun 1993 – berkat bantuan pemerintah dan swadaya masyarakat. Makam Datuk Perpantih Nan Sabatang ini – hingga kini terlihat sangat terawat yang dijaga oleh seorang juru kunci. Selain makam Dt. Parpatih nan Sabatang disampingya juga ada pusara kedua pembantunya yaitu Tumangguang dan Pangeran dari Bantan.
Pengakuan  Sebagai Makam Dt. Parpatih nan Sabatang
Seperti yang dituturkan oleh salah seorang petinggi adat Nagari Selayo ” Fajri Hamzah gelar Malin Batuah” yang notabene adalah mantan Kepala Desa Selayo Ateh era tahun 1990-an – menyebutkan bahwa, yang pernah berkunjung ke makam Dt. Parpatih nan Sabatang adalah Prof. Peggy R. Sanday dari Kalifornia (Amerika Serikat) didampingi oleh dua orang staf ahli adat dari Batusangkar.
“Diakui oleh kedua ahli adat dari Batusangkat tersebut bahwa memang di Selayo inilah dikuburkannya Dt. Parpatih nan Sabatang, lantaran di Limo Kaum tidak ditemui adanya makam Dt. Parpatih nan Sabatang,” ungkap Malin Batuah.
Diakui Malin Batuah, pernyataan itu didukung dari tulisan alm. Anas Navis dalam tulisannya berjudul “Makam Itu Makam Datuak Parpatih Nan Sabatang” yang dimuat diharian Singgalang (1/9/1991).
Kebenaran tulisan AA Navis itu berdasarkan kenyataan bahwa munculmy Makam Dt. Parpatih nan Sabatang dalam Tambo Minangkabau di Perpustakaan Nasional yang dipaparkan dalam beberapa bahasa.
Tulisan ini lebih kepada informasi semata, sejatinya kebenaran sesungguhnya tentang makam Dt.Parpatih nan Sabatang itu berada pada yang “ahli” nya.  Wallahu alam.
Sumber :
– Selayo (1992) karya (almarhum) Soewardi Idris
- Mengutip tulisan Witrianto
- Wawancara penulis artikel ini dengan Almarhum Djanatin Dt.Putiah (2001)
- Wawancara dengan Fajri Hamzah Malin Batuah
http://bundokanduang.wordpress.com/2010/12/13/kubuang-tigo-baleh/